pekaaksara

Suramadu dan ‘Kutukan’ Sejarah Madura

Pekaaksara

Suramadu
HB Hasan

SUMENEP, pekaaksara.com – Pembangunan Jembatan Suramadu semula dipandang sebagai harapan besar untuk membuka jalan bagi kesetaraan warga Madura. Namun, meskipun jembatan ikonik ini telah ada, kenyataannya masalah-masalah yang membelenggu Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan masih jauh dari penyelesaian yang memadai, bahkan sebagian besar masalah tersebut seharusnya sudah bisa diatasi beberapa dasawarsa silam.

Banyak ahli yang berpendapat bahwa Indeks Pembangunan Manusia Madura (IPMM) masih jauh di bawah rata-rata nasional, sehingga kehadiran Jembatan Suramadu menjadi bahan perdebatan. Apa sebenarnya dampak positif yang dihasilkan jembatan ini untuk Madura?

Namun, saya ingin mengingatkan, apakah menjadikan Suramadu sebagai “kambing hitam” adalah pendekatan yang objektif dan bijaksana? Apakah tidak ada faktor lain yang lebih mendasar yang perlu dipertanyakan? Sebagai contoh, sejauh ini sudah berapa banyak kebijakan nasional yang dirancang untuk mendongkrak kesejahteraan Madura agar sejajar dengan daerah lainnya?

Jika kebijakan nasional tersebut memang ada, apakah ada langkah-langkah lanjutan setelah pembangunan Suramadu? Jangan-jangan, setelah jembatan itu selesai dibangun, pemerintah merasa bahwa masalah Madura telah terselesaikan begitu saja.

Memang, setelah Suramadu dibangun, muncul berbagai usaha kecil dan menengah (UMKM), termasuk warung makan yang menjadi populer, terutama yang menyajikan kuliner bebek. Pelebaran jalan nasional juga dilakukan, termasuk di Kecamatan Blega, Kabupaten Sampang.

Namun, setelah bertahun-tahun, dampak nyata dari pembangunan jembatan ini seperti berhenti. Sementara Surabaya semakin berkembang pesat, Madura justru tertinggal dalam banyak aspek. Ketimpangan pembangunan semakin jelas, dan pertumbuhan ekonomi Madura semakin stagnan.

Gelombang urbanisasi yang muncul, dengan banyaknya warung Madura di kota-kota besar seperti Jakarta, Bali, Yogyakarta, dan Surabaya, justru menunjukkan bahwa Suramadu belum cukup memberi dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi warga Madura.

Madura seolah tak bisa lepas dari stigma kemiskinan dan keterbelakangan. Fasilitas pendidikan tinggi pun sangat terbatas, dengan hanya ada satu Universitas Negeri Trunojoyo di Bangkalan, sementara tiga kabupaten lainnya harus berjuang sendiri dalam mengembangkan lembaga pendidikan tinggi.

Ironisnya, di tengah keadaan ini, masih ada pihak yang berusaha mengarahkan persepsi publik pada hal-hal negatif tentang Madura. Fokus mereka sering kali hanya pada tingginya angka kriminalitas di sekitar akses Suramadu, tanpa melihat kebijakan lanjutan yang seharusnya ada. Pendekatan semacam ini jelas bersifat parsial, padahal orang yang berpendidikan seharusnya memahami bahwa kriminalitas adalah akibat, bukan penyebab.

Sayangnya, pembacaan parsial ini tak hanya berbahaya, tetapi juga berpotensi memperburuk citra Madura. Dampaknya bisa kita lihat di media sosial, di mana persepsi negatif terhadap Suramadu semakin berkembang. Ini sangat menyedihkan. Mengapa sebuah jembatan yang terbuat dari beton, sepanjang lebih dari lima kilometer, dianggap sebagai penyebab utama tingginya angka kejahatan di Surabaya dan sekitarnya?

Saya khawatir bahwa pembacaan parsial ini merupakan bagian dari upaya terstruktur untuk mempertahankan stigma negatif terhadap Madura. Suramadu, sebagai simbol perubahan, seharusnya tidak dipandang sebagai kutukan sejarah. Masalah yang ada lebih dalam dan kompleks, bukan semata-mata kesalahan atau dosa warga Madura. Wallahu A’lam (*)

Oleh: HB Hasan

Baca Juga

Tinggalkan komentar

PASANG IKLAN DI SINI