pekaaksara.com, Sumenep – Fosil Paus di Desa Banraas, Pulau Giliyang, Sumenep, Madura yang diprakirakan berumur puluhan tahun masih utuh dibawah bangunan kayu beratap asbes.
Sebelum tinggal tulang belulang, Fosil paus dengan lebar 4 meter dan panjang 20 meter tersebut ditemukan pada tanggal 21 Oktober 2004 pukul 06.00 WIB dalam kondisi membujur.
Untuk menuju ke lokasi fosil paus, berjalan ke utara dari awal masuk ke batu canggah. Kurang lebih sekitar 120 meter.
Tanda-tanda sampai di lokasi fosil paus, ada jalan simpang empat, kemudian belok ke sebelah kanan. Disana sudah ada arah penunjuknya.
Dari jalan simpang empat, tidak membutuhkan waktu yang lama. Sekitar 2 menit ke arah timur sudah sampai ke lokasi penyimpanan fosil paus di pulau Giliyang.
H. Masdawi mengatakan, awal ditemukan dan sebelum menjadi fosil, paus tersebut ditemukan warga dalam keadaan terdampar di permukaan laut. Waktu itu, masyarakat tidak berani untuk menyentuhnya.
Bahkan, terdamparnya paus tersebut dipercaya akan membawa petaka bagi masyarakat Giliyang. Untungnya, rasa kwatir itu tidak terjadi berkat pertolongan sang maha cipta.
“Masyarakat sampai menggelar doa bersama untuk keselamatan pulau Giliyang dan seisinya. Alhamdulillah, rasa kwatir itu tidak terjadi berkat pertolongan sanga maha pencipta,” ujar Masdawi.
“Dulu, saat baru terdamparnya paus ini bau menyengat hampir dirasakan separuh wilayah Giliyang. Setelah itu, bau mulai menghilang. Dan fosil paus tersimpan rapi sampai sekarang,” tukasnya.
Baca Juga Empat Rekomendasi Objek Wisata di Pulau Oksigen Giliyang Ada Batu Canggah
Baca Juga Wisata Oksigen Pulau Giliyang Sumenep Tak Surut Pengunjung
Pengunjung Pulau oksigen Giliyang, Imroatus Soleha mengatakan, fosil paus itu menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat setempat.
Pasalnya, fosil paus itu menjadi salah satu bagian dari destinasi wisata di Giliyang yang diyakini mengantarkan pada perekonomian masyarakat sekitar.
Dengan catatan, di sekitar fosil paus dirawat sedemikian rupa. Seperti museum khusus fosil serta tempat duduk pengunjung sembari mengabadikan momen baiknya.
“Kalau menurut saya, fosil itu dipamerkan dengan dibentuk museum dan disekitarnya dibuatkan tempat khusus pengunjung. Nantinya, yang mengelola masyarakat Giliyang sendiri,” ujarnya. (*)