SUMENEP, pekaaksara.com – Tradisi jamasan keris Paguyuban Pelar Agung Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, menggunakan 7 sumber mata air kuno.
Sumber mata air tersebut berada di tiga titik. Diantaranya, Taman Sare Keraton, Kecamatan Lenteng dan Kecamatan Saronggi. Pengambilan air pertama di Taman Sare Keraton Sumenep.
Dengan pengambilan air itu menandai dimulainya proses jamasan keris dalam rangka hari jadi Sumenep ke – 754 Kabupaten Sumenep.
Sebelum air diambil, petugas membawa sesajen yang didalamnya terdapat kepalan nasi lima warna. Merah, Kuning, Putih, Hijau dan Hitam beserta dupa. Kemudian, mereka yang terdiri dari empat orang duduk melingkar membaca tahlil.
Setelah itu, air diambil menggunakan kendi diikat sehelai kain kafan. Kain kafan melambangkan sebuah kesucian.
Empu Keris Paguyuban Pelar Agung Desa Aeng Tongtong, Ika Arista mengungkapkan, sumber tersebut diyakini memiliki sejarah panjang sejak masa kerajaan Sumenep.
Taman Sare merupakan tempat pemandian Potre Koneng yang sampai saat ini dimanfaatkan oleh warga khususnya wisatawan untuk mencuci muka dalam rangka menyalurkan niatnya sebagaimana petunjuk di tiga pintu utama yang masing-masing memiliki nilai magis.
Di Lenteng berada di Desa Lembung yang dulunya digunakan Bindara Saod, Saronggi terletak di Desa Tanah Merah yang merupakan bekas pemakaian tokoh yang bernama Juhar Sari dan di Desa Aeng Tongtong sendiri merupakan pemakaian guru spritual sumenep bernama Juk Sernah.
Dan air sumber itu hingga saat ini dikenal sangat jernih dan memberi manfaat tak hanya untuk masyarakat sekitar, tetapi juga khalayak luas. Termasuk dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari dan pertanian.
Lebih jauh Ika Arista memaparkan, air dari sumber itu diambil kemudian dibawa ke pusat kerajinan keris untuk dipergunakan jamasan keris pada tanggal 15-16 Juli 2024.
Memang, lanjut Ika, setiap tahun tepatnya bulan Suro para pemilik pusaka membersihkannya melalui penjamasan dengan tujuan mengembalikan terhadap tujuan awalnya memiliki pusaka itu. Pusaka dibersihkan menggunakan air dari 7 sumber itu.
“Secara fisik memandikan kerisnya. Air itu menjadi lambang kehidupan. Air sumber yang kita ambil itu memberikan sejarah kehidupan panjang,” terang Ika, Senin (8/7/2024).
Menurut Ika, sumber kuno yang ada harus dihargai karena telah memberikan kehidupan kepada masyarakat Sumenep baik masa kerajaan maupun saat ini. Tanpa sumber air, manusia dimungkinkan tidak seperti sekarang.
Sebelum mengambil air itu, para pelestari budaya melakukan ritual khusus yang dikenal dengan istilah Nyonteng. Nyonteng merupakan ucapan rasa syukur diawali dengan pembacaan surat Fatihah dikhususkan kepada siapapun yang telah mengalirkan air tersebut (*)