SUMENEP, Pekaaksara.com – Kemasan meriah dan sorotan lampu panggung rupanya menyembunyikan kenyataan pahit di gelaran Pragaan Fair 2025. Di balik keriuhan acara, terungkap fakta mencengangkan, panitia diduga mengantongi pendapatan hampir Rp50 juta, tapi honor penampil tak kunjung cair.
Hasil penelusuran media ini menunjukkan, cuan panitia bersumber dari pungutan dua kategori tarif stand. Untuk stand dalam lapangan, tarif yang dikenakan mencapai Rp750 ribu per unit. Jumlahnya tak main-main—60 unit tersebar di empat baris utama: selatan, tengah, utara, dan timur. Total pemasukan dari sektor ini mencapai Rp45 juta.
Tak cukup sampai di situ, sisi paling utara lapangan pun disulap jadi barisan stand tambahan. Sebanyak 12 unit disewakan dengan tarif Rp300 ribu, menghasilkan Rp3,6 juta. Masih ditambah pungutan biaya listrik sebesar Rp10 ribu untuk 72 stand, menambah Rp720 ribu ke kas panitia.
Jika ditotal, panitia mengantongi pendapatan bersih Rp49,32 juta. Jumlah ini belum termasuk potensi pemasukan dari sponsor, kontribusi desa, atau lembaga swasta lainnya.
Namun, di tengah besarnya pemasukan itu, sejumlah penampil panggung justru dibuat kecewa. Para pelaku seni—mulai dari grup banjari, musik tong-tong serek, hingga penari dari sekolah-sekolah—mengaku belum menerima ongkos jalan maupun akomodasi sebagaimana dijanjikan.
“Air saja tidak disediakan saat kami tampil,” keluh salah satu anggota grup banjari, Selasa (5/8). Ia menuturkan, panitia sempat menjanjikan uang transport, namun hingga kini belum ada kejelasan. “Katanya masih menunggu rapat final panitia.”
Temuan media ini menunjukkan, bukan hanya banjari. Semua penampil mengalami hal serupa. Padahal, informasi internal menyebut bahwa anggaran untuk mereka sudah dialokasikan dalam struktur kepanitiaan.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) Sumenep, Mohammad Iksan, menegaskan bahwa Pragaan Fair bukanlah kegiatan yang dibiayai APBD. Ia menyebut, satu-satunya kegiatan resmi yang dianggarkan adalah Festival Tong-tong Serek.
“Pragaan Fair murni inisiatif kecamatan. Kalau untuk Tong-tong Serek, jika anggarannya sudah diajukan, maka tinggal proses pencairan,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Kondisi ini memunculkan tanda tanya besar di kalangan publik: jika bukan dari APBD, dan panitia sudah mengantongi hampir Rp50 juta dari sewa stand, kenapa honor penampil belum juga disalurkan?.
Di sisi lain, pelaku UMKM pun turut bersuara. Tarif stand yang mahal dinilai tak sebanding dengan hasil penjualan yang diperoleh. “Bayar mahal, tapi jualan sepi. Bukannya untung, malah nombok,” kata salah satu peserta yang turut menyewa stand.
Media ini telah mencoba menghubungi Camat Pragaan, Indra Hermawan, serta pengampu kegiatan, Ahmad Fikri, untuk konfirmasi. Namun hingga berita ini ditayangkan, tak satu pun memberikan respons. Panggilan telepon tak dijawab, pesan WhatsApp pun tak dibalas, meski terlihat telah dibaca.
Minimnya transparansi pengelolaan dan tak adanya penjelasan resmi makin menebalkan spekulasi. Di tengah gegap gempita pesta rakyat, publik bertanya: ke mana perginya uang Rp50 juta itu, dan mengapa mereka yang tampil justru dibiarkan menunggu?. (*)
(Iqb/pekaaksara.com)