pekaaksara.com, Sumenep – Seorang Pakar Hukum Ahmad Suryono, angkat bicara soal penerapan hukum terhadap tersangka mafia pupuk di Sumenep yang hanya dikenai Undang-Undang Darurat oleh Polres.
Diketahui, tersangka mafia pupuk telah dijatuhi Pasal 6 Ayat (I) Huruf b Undang Undang Darurat RI No 7 Tahun 1955, tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, dengan ancaman hukuman dua tahun penjara.
Ahmad Suryono mengaku cukup heran dengan keputusan yang diambil oleh pihak kepolisian setempat. Karena ia menilai, kasus mafia pupuk bersubsidi merupakan hal yang nyata merugikan banyak pihak.
Menurutnya, dalam kasus penyelundupan pupuk bersubsidi, tersangka diduga telah melakukan dua jenis pelanggaran hukum. Yakni tidak menyalurkan barang bersubsidi pada peruntukannya dan kemudian menyelundupkannya.
Kemudian kata Ahmad Suryono, seharusnya jumlah tonase yang cukup besar juga menjadi pertimbangan bagi Polres Sumenep, untuk tidak terburu-buru menentukan norma yang akan ditetapkan bagi tersangka.
“Saya heran, ini kan perbuatannya ada dua. Tidak menyalurkan pada peruntukannya dan dia (tersangka.red) menyelundupkan. Lalu kenapa, kok Polres pakai UU Darurat itu saja,” ungkapnya, Senin (3/4).
Dosen Fakultas Hukum di Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember itu mengatakan, meski UU Darurat RI No 7 Tahun 1955 dapat dipakai, namun masih banyak pasal dan norma yang lebih pas untuk digunakan dalam kasus penyelundupan pupuk bersubsidi tersebut.
Misalnya, Pasal 21 (2) Permendag RI nomor 15/2013, tentang pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian Jo Pasal 2 (1) dan (2) Perpres Nomor 15/2011 tentang penetapan pupuk bersubsidi sebagai barang dalam pengawasan Jo Pasal 110 Pasal 35 (2) Pasal 36 UU nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 5 miliar.
“Pasal itu seharusnya juga bisa diterapkan akan memberikan dampak yang lebih besar pada kasus penyelundupan pupuk bersubsidi,” katanya
Kendati demikian, ia menuturkan kepolisian itu memiliki alasan subjektif dan objektif untuk menentukan keputusan (termasuk penahanan kepada tersangka) sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (4) KUHAP. (*)